ARTIKEL
"Kontrasepsi
Gagal, Mengapa Mesti Aborsi ?"
(Belajar
Dari Kematian Almarhumah Ny.Yuni Yudianto : Andik Wijaya, DMSH.)
Tentu
tidak terbayangkan oleh keluarga Almarhumah Ny. Yuni Yudianto
bahwa upaya medis yang mereka lakukan untuk “membereskan” masalah
yang mereka hadapi berakhir dengan tragedi yang memilukan, sebagaimana
diberitakan dalam Metropolis, Selasa,19 Juni 2001.
Kehamilan bagi sebagian besar pasangan suami-istri merupakan
kebahagiaan besar, namun bagi sebagian diantara mereka merupakan
kondisi yang mengerikan. Salah satu penyebab keadaan ini adalah
ketidaksanggupan atau ketidakrelaan untuk menanggung konsekuensi
dari kehamilan tersebut, tentu diantara penyebab itu adalah
faktor kebutuhan hidup yang akan bertambah besar, apalagi di
jaman yang serba sulit dan mahal seperti sekarang ini. Belum
lagi kerepotan yang akan dialami oleh orang tua terutama istri
dalam proses tumbuh kembang si anak. Karena itu, setiap kehamilan
yang tidak direncanakan apakah itu terjadi pada pasangan suami-istri
yang sudah resmi menikah ataupun bila itu terjadi pada remaja
putri yang belum bersuami, perlu diberi perhatian yang serius
dan diupayakan jalan keluar terbaik, agar beban tersebut tidak
hanya ditimpakan pada yang mengalaminya, apalagi bila itu akibat
kegagalan kontrasepsi.
Apakah menstrual regulation, bahasa yang sering digunakan untuk
menghaluskan fakta aborsi, merupakan jalan keluar terbaik ?
Aborsi yang seringkali dipilih untuk menyelesaikan kehamilan
yang tidak direncanakan memiliki berbagai resiko, yang kadang
para pengguna jasa aborsi tidak sepenuhnya menyadari hal itu.
Pertama adalah resiko fisik, terberat tentu adalah kematian
sebagaimana dialami oleh Almarhumah Ny.Yuni Yudianto. Seberapapun
probabilitasnya, resiko itu ada dan tidak mungkin ditiadakan
sama sekali. Resiko fisik lain yang biasa terjadi adalah perdarahan,
infeksi, bahkan kemandulan diwaktu mendatang. Kedua adalah resiko
kejiwaan, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr.Anne
Catherine Speckard, dari Minnesota University, dalam kurun waktu
lima sampai sepuluh tahun setelah terjadinya tindakan aborsi,
para wanita yang menjalaninya akan mengalami berbagai masalah
kejiwaan, dimana 81 persen melaporkan bahwa pikiranya senatiasa
dipenuhi dengan anak yang digugurkannya. 73 persen melaporkan
terjadinya kilas balik pengalaman aborsi dalam pikirannya. 54
persen mengatakan selalu mengalami mimpi buruk yang berhubungan
dengan aborsi yang dijalaninya, dan 23 persen dari para pelaku
aborsi tersebut mengalami halusinasi yang berhubungan dengan
aborsi. Dan yang mengejutkan, dalam suatu pemikiran retrospeksi,
96 persen wanita yang pernah melakukan aborsi mengatakan bahwa
aborsi yang mereka lakukan adalah pengambilan nyata anak mereka
atau dengan kalimat yang lebih lugas, suatu tindakan pembunuhan.
Benarkah aborsi suatu pembunuhan ?
Dunia medis dikenal dengan tradisi luhurnya. Salah satu tradisi
luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah sumpah
yang pernah diucapkan oleh Hypocrates, Bapak Kedokteran Modern,
dia mengatakan bahwa Seorang Dokter akan selalu menghormati
kehidupan semenjak pembuahan. Kalimat ini, saat ini, selalu
diucapkan oleh seorang dokter sebagi sumpah luhur ketika memulai
profesi sebagai seorang dokter. Sumpah ini memiliki landasan
scientific, ketika genetika modern berkembang dengan ditemukannya
kromosom oleh Dr.James D. Watson. Dalam perspektif ilmiah, semenjak
sperma bertemu dengan ovum terjadilah peleburan kromosom dari
sperma dan ovum, sehingga kehidupan baru terbentuk semenjak
saat itu. Dan bila proses multiplikasi serta diferensiasi yang
terjadi semenjak saat itu tidak terganggu atau diganggu, maka
pada waktunya individu baru yang diciptakan oleh Pencipta Kehidupan
tersebut akan hadir ditengah-tengah dunia, untuk berkarya dan
memberi manfaat bagi dirinya, orang tua serta keluarga, masyarakat,
dunia, serta bagi Keagungan Penciptanya. Dengan pemahaman ini,
sangatlah bisa dipahami mengapa 96 persen wanita yang pernah
menjalani aborsi menyadari dengan nuraninya dan mengatakan bahwa
aborsi adalah tindakan pembunuhan.
Kalau
demikian halnya adakah pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan
masalah kehamilan yang tidak direncanakan ini ? Pencegahan itu
lebih baik dari pada pengobatan, adalah semboyan klasik yang
masih berlaku saat ini. Bagi remaja yang belum terikat dengan
pernikahan, abstinensia, yaitu tidak melakukan hubungan seksual
adalah pilihan terbaik. Apakah hal itu realistis, mengingat
remaja hidup dalam jaman yang begitu longgar dengan norma-norma,
dan meluapnya informasi berkaitan dengan seks yang seringkali
menyesatkan ? Dalam penelitian yang dilaporkan oleh The Medical
Institut for Sexual Health gerakan abstinensia di Amerika berhasil
meningkatkan virginty 11 – 15 persen, sementara itu tingkat
kehamilan remaja bisa diturunkan sampai 21 persen, semua hal
ini menunjukan bahwa abstinensia sangat mungkin dilakuklan oleh
remaja dan siapa saja yang belum menikah atau jauh dari pasangannya.
Kalau remaja amerika yang dicap liberal saja bisa mengambil
pilihan yang benar bagi hidup mereka, kenapa kita yang mengaku
sebagai bangsa yang berbudaya, bahkan bangsa yang religius tidak
bisa melakukan hal itu ? Bagi pasangan suami-istri, pilihlah
kontrasepsi yang efektifitasnya tinggi dengan selalu berkonsultasi
pada dokter yang ahli dibidang tersebut.
Namun
bila tetap terjadi kehamilan juga, mengapa tidak mengingat filosofi
jawa, yang mengatakan, “ Anak kuwi ngowo rejekine dhewe-dhewe
“ Atau dalam bahasa Indonesia, Anak itu membawa berkatnya sendiri-sendiri.
Burung-burung di udara yang tidak pernah menabur, atau menuai.
atau menyimpan dalam lumbung saja, setiap saat diberi makan
oleh Penciptanya, apalagi manusia, yang adalah Mahkota CiptaanNya.
Karena itu mengapa harus takut dan kuwatir. Bila sebagai manusia
kita telah berusaha namun gagal, percayalah bahwa ada maksut
yang mulia dibalik semua yang terjadi dalam kerhidupan kita,
bukankah Dia turut bekerja didalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi setiap manusia yang dikasihiNya? Kegagalan kontrasepsi
yang telah dilakukan oleh pasangan suami-istri pasti membawa
hikmat yang indah, karena itu jangan tergesa-gesa untuk mengaborsinya.
Bila kenyataan hidup tidak memungkinkan untuk membesarkan anak
yang sedang dikandung, kenapa tidak dipikirkan untuk mengadopsikan
anak tersebut kepada pasangan yang kesulitan untuk mendapat
keturunan, sebab saat ini ada sekitar 15 persen pasangan suami-istri
yang dengan susah payah, dan tidak jarang menghabiskan biaya
yang sangat besar untuk bisa mendapat kehamilan, dan tidak jarang
usaha itu harus dihentikan karena keterbatasan biaya atau usia
yang tidak memungkinkan lagi. Mereka ini akan sangat berbahagia
bila “ dititipi “ anak-anak yang “tertolak” ini. Bukankah ini
pilihan yang lebih baik yang akan membahagiakan semua orang
?
Kematian Almarhumah Ny.Yuni Yudianto, adalah pelajaran pahit
bagi kita semua. Kita berharap keluarga yang ditinggalkan diberi
ketabahan hidup olehNya. Dan setelah ini, jangan lagi ada aborsi,
jangan lagi ada pembunuhan janin-janin yang tidak berdaya ini.
Hormatilah kehidupan semenjak pembuahan.
(dari
situs drawclinic.com)
|