ARTIKEL
Manusia
Atau Bukan Manusia?
Oleh Frederica Mattewes-Green
Frederica
Mattewes-Green, pendiri Feminists for Life, adalah penulis dari
buku-buku Real Women, Real Choices, dan sering menulis untuk
beberapa majalah.
Debat aborsi
selalu berakhir pada satu pertanyaan: apakah janin dapat
dikategorikan sebagai manusia? Seseorang tidak dapat meyatakan
dengan pasti, tetapi kelompok pendukung kehidupan
menitik-beratkan kerugian aborsi pada kasus-kasus kelainan
sosial yang ditimbulkannya.
Sedangkan kelompok pendukung aborsi menyatakan bahwa apa
yang diinginkan kelompok pendukung kehidupan adalah memberikan
hukuman terhadap seorang wanita atas hubungan intim yang
dilakukannya atau untuk mendapatkan cuti melahirkan bagi para
wanita.
Bagaimanapun,
jawaban “ya” atau “tidak” tidaklah menjadi soal, yang
menjadi masalah adalah persoalan hidup dan mati.
Dalam keputusan dari kasus sidang pengadilan antara Nona
Roe yang diketahui menggugurkan kandungannya melawan Jaksa
Penuntut Wade, Hakim Harry Blackmun menulis, “jika kita setuju
untuk menyatakan janin yang masih dalam kandungan adalah seorang
manusia, maka hak menggugurkan kandungan akan hancur dan si
janin memiliki jaminan hak untuk hidup.”
Tetapi, itulah masalahnya.
Kemanusiaan si janin masih terus diperdebatkan.
Kelompok
pendukung aborsi menyatakan bahwa janin adalah manusia dan
mahluk hidup, tetapi ia belum menjadi bagian dari kita – belum
benar-benar seorang manusia. Masalah ini memang sukar untuk dibuktikan baik secara logika
maupun ilmiah dan dapat menyeret kita pada pola hak hidup mahluk
lainnya, karena kita bisa mengatakan bahwa mereka bukan bagian
dari kita. Marilah
kita lihat beberapa alasan yang dilontarkan untuk menyatakan
bahwa janin itu bukan seorang manusia.
Janin
bukan manusia karena ukurannya begitu kecil
“Setiap
alasan yang dilontarkan untuk dapat melakukan aborsi adalah
sebuah alasan yang bagus untuk melakukan pembunuhan.” Kalimat
ini menemukan kebenarannya disini.
Ukuran/postur tubuh menjadi sangat relatif dalam
kehidupan manusia. Janin
usia 6 minggu sudah tentu lebih kecil dari bayi yang baru
dilahirkan, dan kita bisa membandingkan ukuran seorang bayi yang
baru lahir dengan si raksasa wresling, Hulk Hogan.
Alasan ukuran adalah alasan yang paling banyak dipakai
oleh mereka yang ingin melakukan aborsi, tetapi merupakan alasan
yang paling tidak masuk akal.
Orang yang berperawakan besar dapat dengan mudah melempar
orang berpostur kecil. Karena kebanyakan wanita berukuran lebih kecil dari pria,
maka inilah alasan pria untuk menghambat kemenangan wanita.
Kita tahu, sudah banyak wanita yang mengalami kekejaman
pria.
Janin
bukan manusia karena saya tidak menginginkannya
Yang kita
bicarakan disini adalah ketakutan dan ketidak-mampuan seorang
wanita dalam menghadapi kehamilannya.
“Saya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa seorang pria
yang mendampingi saya. Jika tidak seorang pun mengingini saya, saya adalah manusia
yang tidak berguna.” Jika
manfaat dari keberadaan seseorang bergantung pada seseorang yang
lain, maka kita boleh dengan sekehendak hati meniadakan
anak-anak, darah daging kita sendiri, yang tidak memberikan
kebahagiaan bagi kita. Kegunaan
seseorang itu diukur berdasarkan kecintaan seseorang, baik
anak-anak, orang-orang berkulit hitam, wanita, penyandang cacat,
dan mahluk hidup yang lainnya.
Janin
bukan manusia karena belum memiliki rupa manusia
Pernyataan
ini tidak benar. “Gumpalan
darah” itu dengan cepat berubah bentuk, dan setiap janin yang
digugurkan memiliki raut wajah, tangan, mata, jenis kelamin, dan
jantung yang berdetak. Kalaupun
ada sebuah metode yang dapat dipakai untuk menentukan rupa si
janin, itu akan menjadi preseden buruk.
Diskriminasi terhadap manusia karena dia “terlihat aneh”
memiliki sejarah yang panjang dan tercela.
Yang benar adalah, janin pada hari-hari pertama
pembentukannya telah berujud manusia, meskipun belum sepenuhnya
terlihat. Kita
semua adalah “gumpalan darah” yang terus menerus berubah
bentuk dari saat terjadinya pembuahan di rahim ibu kita hingga
saat kematian kita nanti.
Janin
bukan manusia karena akan lahir cacat
Teman-teman
kita penyandang cacat mungkin akan gemetar mendengarnya.
Jika kita mengetahui ketidak-normalan mereka sebelum
mereka lahir, kita mungkin akan membuat mereka tidak terlahir ke
dunia sehingga mereka tidak mengalami kehidupan yang jauh dari
bahagia atau yang gelap karena kebutaan.
Membunuh atas nama belas kasihan telah lama dijalankan
dalam era yang kejam dan sentimentil ini. Kita menjadi seperti
Scrooge – si tua yang serakah – yang suka akan kekuatan dan
kesehatan dan yang melihat si lemah dan berpenyakitan sebagai
sumber pencahariannya. Ingatlah,
kita semua memiliki jasad yang hanya sementara dan setiap dari
kita adalah calon-calon jenasah.
Janin bukan manusia karena
nantinya dia akan mengalami siksaan
Penolakan
terhadap kehamilan boleh dikatakan sebagai awal terjadinya
kebenciaan saat bayi dilahirkan, meskipun si bayi tidak
mengharapkan hal ini terjadi padanya.
Secara kasar dapat dikatakan kehidupan anak yang
mengalami siksaan sama seperti hidup para penyandang cacat –
tidak ada gunanya, sama seperti korban-korban pemerkosaan dan
istri-istri yang didera oleh suaminya - seharusnya mereka semua
juga tidak perlu dilahirkan ke dunia.
Saat siksaan hanya merupakan teori, seperti dalam kasus
anak yang masih dalam kandungan, kita menghancurkan penegasan
kekuatan si penyiksa dan mengesampingkan harapan dari mereka
yang percaya bahwa masa lalu dapatlah dilupakan.
Harapan bahwa aborsi dapat mencegah penyiksaan anak di
kemudian hari telah dibuktikan salah oleh statistik.
Statistik Amerika mencatat meskipun semua calon bayi
digugurkan selama 19 tahun ke belakang, catatan mengenai
penyiksaan anak melonjak hingga 500 %.
Pembuangan anak juga terjadi setelah anak itu lahir.
Janin
bukan manusia karena belum dapat merasakan apa-apa
Kesadaran dan
kehati-hatian adalah sifat-sifat yang secara bertahap muncul
dalam hidup seorang manusia normal.
Hal-hal tersebut juga ada dalam janin.
Kucing penjaga rumah memang lebih pintar berinteraksi
daripada bayi usia satu bulan.
Ada yang mengatakan usia kandungan 6 bulan sebagai awal
dari janin memiliki kesadaran sekitarnya.
Tetapi itu adalah sebuah konsep, karena potensi kemampuan
seseorang selama hidupnya telah terjadi sejak saat pembuahan.
Kita harus sadar bahwa kemampuan daya pikir seseorang
sangatlah berbeda. Ada yang dapat berkembang secara wajar, ada yang secara
perlahan seperti pada penderita cacat mental.
Tetapi mereka yang disebut terakhir ini bisa menjadi
bintang TV yang terkenal. Janin
yang masih dalam kandungan hanya memiliki satu kekurangan, yaitu
kesadaran, akan tetapi kesadaran seorang bayi terus menerus
dipertajam hingga saat kelahirannya nanti.
Untuk cepat-cepat membunuhnya sebelum dia mencapai
perkembangan maksimum dari kesadarannya adalah sama dengan
membunuh seorang penderita koma yang baru saja mendapatkan
kesadarannya kembali tetapi belum dapat membuka matanya.
Janin
bukan manusia karena belum memiliki jiwa
Meskipun
tubuh seseorang mulai hidup saat sel sperma bertemu dengan sel
telur, beberapa orang berkata bahwa dalam agama mereka,
dipercaya bahwa jiwa ditanam kemudian.
Ini juga menggambarkan kepercayaan ilmiah bahwa janin
adalah bongkahan tak berdaya hingga saat kesadarannya timbul dan
si calon ibu merasakan gerakannya.
Jika para leluhur kita mempercayai janin itu bukanlah
benda hidup, orang-orang dari jaman yang lebih maju menyatakan
bahwa janin itu adalah benda hidup tanpa jiwa.
Orang-orang yang beragama boleh saja mengikuti debat
aborsi dengan segala argumentasinya, tetapi pendapat-pendapat
seperti jiwa janin baru muncul setelah usia kehamilan 6 bulan,
meninggal saat usia 48 tahun, atau jangan bekerja pada hari Rabu,
tidaklah dapat dijadikan dasar hukum – khususnya sebagai
alasan untuk membunuh. Tradisi-tradisi
agama yang sangat dihormati seperti pengorbanan anak-anak atau
melemparkan anak dara ke dalam gunung berapi seharusnya juga
tidak termasuk dalam pengecualian hukum yang melindungi
kehidupan.
Janin
bukan manusia karena hidup didalam tubuh ibunya
Bayi yang
masih dalam kandungan bukanlah bagian dari tubuh ibunya,
hubungan yang terjalin bukanlah seperti seorang astronot yang
berada dalam pesawat ulang alik. Kenyataan
bahwa bayi memerlukan oksigen, makanan dan tempat yang nyaman
dari tubuh ibunya bukanlah berarti mereka bukan manusia.
Keduanya, baik si bayi atau pun si astronot adalah
seperti seorang penyewa tempat.
Memang, kehamilan dapat membawa ketidak enakan bagi
seorang wanita, tetapi apakah seorang wanita memiliki hak untuk
menampik “penyewa” yang tak diinginkannya?
Situasinya mirip seperti saat seorang nahkoda kapal
menemukan seorang penumpang gelap dalam kapalnya.
Apakah ia akan membuang orang itu ke laut?
Hal yang hilang dari analogi tersebut adalah janin tidak
berada dalam tubuh ibunya karena kemauannya sendiri, tetapi
karena diletakkan untuk menjadi hidup oleh perbuatan yang secara
sadar diketahui oleh pihak pria dan wanita akan menimbulkan
kemungkinan terjadinya kehamilan.
Untuk para orang tua, melakukan hubungan intim haruslah
dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab akan kemungkinan
terjadinya kehamilan (meskipun secara hat-hati telah dipakai
kontrasepsi). Bahwa
kehamilan yang mungkin dihasilkan akan memberatkan pihak wanita,
karena mungkin saja si pria akan pergi dan lari dari
tanggungjawab terhadap pihak wanita dan anaknya, bukan berarti
si wanita dapat melakukan hal yang sama – melepas
tanggungjawab dengan menggugurkan kandungannya.
Pilihan-pilihan yang mengandung tanggungjawab yang besar,
perhitungan yang matang, adalah pilihan-pilihan yang dapat
membawa kita kepada lingkungan wanita dan anak-anak yang kuat,
juga pria. Pilihan-pilihan
yang ceroboh membuat kita semua merasa bersalah.
Abad ini
telah mengajarkan pada kita, dalam banyak pelajaran berharga,
bahwa adalah berbahaya untuk mempersepsikan janin sebagai bukan
manusia. Merendahkan
martabat janin, mencari-cari alasan yang tepat untuk aborsi,
mengganti istilah aborsi demi untuk melakukannya, membuang bayi
dalam kandungan, sepertinya sudah menjalar keluar dari
cincin-cincin kebijaksanaan.
Saat seorang wanita setuju untuk mengatakan bahwa bayi
yang dikandungnya bukanlah seorang manusia sebagai alasan ia
dapat diterima di lingkungan masyarakatnya, maka banyak hal yang
dipertaruhkannya. Sebaiknya
kita bersama-sama memeriksa keberadaan kita, perasaan kita,
keinginan kita – kita tidak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya.
|